Sabtu, 16 Agustus 2008

Guru Berkualitas Baru Sekedar Harapan


Rubrik
Berita Utama
Bisnis & Keuangan
Humaniora
International
Jawa Barat
Jawa Tengah
Metropolitan
Nusantara
Olahraga
Opini
Politik & Hukum
Sosok
Sumatera Bagian Selatan
Sumatera Bagian Utara
Yogyakarta
Berita Yang lalu
Anak
Audio Visual
Bahari
Bentara
Bingkai
Dana Kemanusiaan
Didaktika
Ekonomi Internasional
Ekonomi Rakyat
Fokus
Furnitur
Ilmu Pengetahuan
Interior
Jendela
Kesehatan
Lingkungan
Lintas Timur Barat
Makanan dan Minuman
Muda
Musik
Otomotif
Otonomi
Pendidikan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Informal
Pendidikan Luar Negeri
Perbankan
Pergelaran
Perhubungan
Pixel
Properti
Pustakaloka
Rumah
Sorotan
Swara
Tanah Air
Teknologi Informasi
Telekomunikasi
Teropong
Wisata
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi
Sorotan
Sabtu, 20 Mei 2006

Guru Berkualitas Baru Sekadar Harapan

Tonny D Widiastono

Setiap kali diskusi mengenai pendidikan digelar, setiap kali pula muncul sorotan terhadap guru.

Jika masalah guru mulai didiskusikan, ujung-ujungnya selalu muncul gugatan dan harapan akan hadirnya guru-guru berkualitas. Hal serupa juga selalu muncul manakala dibicarakan mengenai kemunduran pendidikan di Indonesia.

Namun, harapan akan guru yang berkualitas agaknya hanya terhenti pada diskusi, pada wacana, dan tidak pernah dirumuskan bagaimana cara membuat atau mencetak guru berkualitas. Kecenderungan hanya berhenti pada diskusi menyiratkan kenyataan, seolah harapan akan adanya guru berkualitas sudah selesai hanya dengan dibicarakan, diwacanakan.

Semua orang mengakui, guru memegang kunci utama sukses tidaknya pengajaran di sekolah. Selama ini diyakini, dunia pendidikan mengandung sejumlah komponen yang saling terkait dan mengisi. Komponen pertama adalah hardware, meliputi gedung sekolah, ruang kelas, laboratorium, peralatan praktikum, perpustakaan, dan sebagainya.

Komponen kedua adalah software, mencakup kurikulum, program pengajaran, sistem pembelajaran, dan sebagainya.

Komponen ketiga, sering disebut brainware, meliputi guru, murid, orangtua murid, kepala sekolah, dan siapa pun yang terkait dengan proses pendidikan.

Komponen keempat adalah netware, yang berkaitan dengan jaringan dan kerja sama, baik antarguru dengan instansi sekolah, dengan lembaga yang mampu meng-up grade guru, sekolah dengan lembaga pemerintah, dan sebagainya.

Komponen kelima, dataware, yang mencakup keterangan jumlah murid, jumlah guru, alur lulusan, asal pendidikan guru, kapan mulai mengajar, sudah berapa lama mengajar, kapan mengikuti up grading, dan sebagainya.

Paradigma baru

Tugas untuk membuat desain bagaimana menciptakan guru berkualitas semestinya ada pada Departemen Pendidikan Nasional. Upaya untuk menciptakan guru pun seharusnya dilakukan dengan paradigma baru. Tetapi, kata seorang pembicara dalam Diskusi ”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030”, pendidikan nasional kita justru kedodoran, terengah-engah mengikuti berbagai perubahan pada tingkat nasional maupun internasional. Selama reformasi ini, reformasi di bidang pendidikan justru masih jalan di tempat.

”Padahal, reformasi bidang pendidikan pada dasarnya merupakan reposisi bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan. Reformasi, reposisi, dan rekonstruksi pendidikan harus melibatkan penilaian kembali secara kritis berbagai pencapaian—jika ada secara signifikan—dan masalah-masalah yang dihadapi pendidikan nasional. Pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan, apalagi untuk bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan di tingkat global,” katanya.

Jangankan memikirkan guru berkualitas, upaya membangun pandangan akan sosok guru pun tidak dilakukan Departemen Pendidikan Nasional. Pandangan masyarakat akan guru tidak lagi seperti yang pernah dilukiskan oleh Earl V Pullias dan James D Young, yaitu manusia yang serba tahu, serba bisa, dan memiliki wibawa tinggi. Memang, guru di masa lalu dinilai memiliki kualitas, berkarakter, mempunyai semangat berkorban untuk masyarakat, dan umum dikenal mampu membimbing masyarakat.

Kini? Sosok guru mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Dulu guru bisa hidup berkecukupan di tengah masyarakat yang kekurangan. Kini, situasi itu sudah berbalik 180 derajat.

Peran guru pun mengalami reduksi oleh kecenderungan spesialisasi bidang ilmu pengetahuan. Sejumlah peran guru di masa lalu kini diambil alih anggota masyarakat yang lebih mampu. Maka tak heran bila profesi guru kini tidak lagi menjadi ”cita-cita luhur”. Cita-cita menjadi guru pun tidak lagi terjadi by design, tetapi by condition.

Guru ”by condition”

Sudah umum diketahui, kini menjadi guru bukan karena cita-cita murni, tetapi karena keadaan. Mereka yang masuk lembaga pendidikan tenaga kependidikan umumnya bukan berasal dari orang kota, keluarga kaya, dan siswa yang pandai. Karena keadaan itu, seleksi seolah-olah sudah terjadi sejak calon bersekolah di sekolah dasar.

Lulus SD, mereka yang memiliki nilai dan kemampuan terbaik akan mencari SMP favorit. Lulusan ”kelas dua” terpaksa masuk SMP yang kurang bermutu. Begitu pula saat lulus SMP, bibit-bibit unggul akan mencari SMA favorit, sementara lulusan ”kelas dua” terpaksa mencari SMU tidak favorit atau sekolah kejuruan.

Hal serupa terjadi saat di SMA. Lulusan terbaik akan berebut mencari perguruan tinggi yang terbaik. ”Sisanya” harus rela masuk perguruan tinggi ”kelas dua” atau masuk lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).

Keadaan ini harus diakui memang terjadi. Nah, mengingat asupan untuk menjadi guru umumnya bukan berasal dari bibit-bibit istimewa, bisa dipastikan hasilnya pun tidak maksimal. Berbagai masalah harus mereka hadapi saat menempuh pendidikan. Kemampuan untuk menyerap ilmu pun amat minim. Itulah kenyataannya, para guru yang kini berdiri di depan kelas dan mengajar umumnya bukan berasal dari bibit-bibit hebat. Merekalah yang mendapat tugas dan tanggung jawab luar biasa besar, mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Inilah pil pahit yang harus ditelan bangsa ini.

Itulah sebabnya, seorang pejabat Departemen Pendidikan Nasional yang menjadi pembicara dalam seminar itu dengan berat terpaksa membeberkan bahwa jumlah guru ada 2,7 juta. Dari jumlah itu, 1,4 juta adalah guru SD. Dari guru-guru SD itu, yang memenuhi syarat untuk menjadi guru SD hanya 8,3 persen. Sisanya, 91,7 persen, tidak memenuhi syarat. Mereka adalah guru-guru karbitan hasil inpres.

”Inilah kenyataannya. Meski demikian, kita akan terus mengupayakan agar guru-guru kita semakin memenuhi kualifikasi, terlepas mereka ini lulus sarjana atau tidak, sertifikasi atau tidak. Hal ini terpaksa dilakukan karena di tangan gurulah learning to do, learning to be, learning to live together, learning how to learn terjadi,” katanya.

Kualitas guru yang lebih bagus terjadi pada jenjang pendidikan lebih tinggi, SMP hingga SMA. Menurut seorang pembicara, dari 1,3 juta guru SMP dan SMA, 30 persen bisa disebut qualified untuk mengajar. Sisanya, 70 persen, masih unqualified, underqualified, dan mismatch.

”Akibatnya, mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif,” ujarnya.

Harus sarjana

Meski Departemen Pendidikan Nasional belum pernah membuat kriteria guru berkualitas—baru mengupayakan adanya sertifikasi untuk guru—para pendidik umumnya sudah melihat jauh. Pendidikan guru yang hanya Diploma (D2 atau D3) dinilai tidak memadai lagi. Bagaimanapun juga guru harus berpendidikan S1. Itu pun masih perlu ditambahi embel-embel, indeks prestasi (IP)-nya minimal 2,75.

Mengapa IP harus tinggi? Ini penting karena, di SD, guru harus mengenalkan konsep. Guru harus menghadapi anak-anak, membuat mereka dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu. Selain itu, di SD, guru juga mulai mengenalkan konsep cara belajar yang benar, dan tidak melanggengkan konsep yang salah sebagaimana sering termuat dalam ”buku pedoman” yang berisi pertanyaan pilihan ganda (multiple choice) berikut kunci. Jika jawaban tidak cocok dengan kunci, dengan mudah akan disalahkan.

Ada contoh soal, ”Ketika berdiri di panas terik matahari, apa yang bakal terjadi?” Anak-anak menjawab, ”menjadi lemas”, ”pusing”, dan sebagainya. Tetapi, itu semua disalahkan karena kunci hanya mencantumkan satu jawaban, ”pingsan”.

Haruskah konsep yang salah ini terus diabadikan oleh guru berkualitas di kelas?

Search :

Berita Lainnya :

·

Menyiapkan Produk Unggulan Tahun 2030

·

Pertanian yang Tidak Lagi Membanggakan

·

Pertanian, Tumpuan Masa Depan

·

Mulailah Melihat dari yang Kecil...

·

Mengakhiri Ketergantungan, Merajut Keberlanjutan

·

Wujudkan "Indonesia Today"

·

Dicari, Perusahaan yang Bisa Mengglobal

·

Industri Nasional Berada di Gigi

·

Kontrol Lokal Harus Kita Rebut

·

Tindakan-tindakan Kita Masih Tetap Artifisial

·

Globalisasi dan Indonesia 2030

·

Peluang dan Tantangan Kependudukan

·

Bermimpi Indonesia Merdeka dari Utang

·

Bisnis dan "Corporate Philanthropy"

·

Tudingan Pelarian Modal

·

Pariwisata, Digarap Saat Diingat

·

Guru Berkualitas Baru Sekadar Harapan

·

Stabilitas dan Demokratisasi untuk Pertumbuhan Ekonomi

·

Hukum Tegak, Perekonomian Lancar

·

Teknologi Masa Depan dan Dunia Usaha

·

Mewujudkan Sistem Keuangan yang Kokoh, Sehat, dan Efisien

·

Diaspora Tenaga Profesional Indonesia

·

Memerangi Kesenjangan dengan Komunikasi



Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Tidak ada komentar: